Sunday 3 February 2013

Alur cerita salah satu album Dream Theater

musik mancanegara banyak bermunculan nama baru seperti Justin bibir dan lady gagal yang sanggup menghinotis jutaan orang di negara kita ini.
Tapi, disamping itu semua, ada sebuah band bertalenta dab berkualitas dari amerika yang tergolong sudah berusia tua tapi masih berkarya. band itu bernama Dream Theater.
Dalam dunia musik nama band asal Amerika, Dream Theater sudah tidak asing lagi. Band yang mempunyai aliran preogresif metal ini telah banyak menciptakan karya-karya yang luar biasa. Meskipun sempat berganti-ganti personel beberapa kali, band ini tetap solid dan “guyub-rukun” dengan mantan personil-personilnya.
Pada tahun 1999, band ini berhasil menelurkan sebuah “album konsep” yang lain dari album-album mereka sebelumnya. Album ini diberi judul “METROPOLIS Pt. 2: Scenes from a memory” yang merupakan pendalaman dari lagu “METROPOLIS Pt. 1: The miracle and the sleeper” yang termuat dalam album sebelumnya.
Album Scenes from a memory ini memuat 12 lagu, terdiri dari 10 lagu biasa dan 2 lagu instrumental.
Lagu-lagu tersebut adalah:
  1. Regretion
  2. Overture 1928 (instrumental)
  3. Strange Dejavu
  4. Through my word
  5. Fatal tregedy
  6. Beyond this life
  7. Through her eyes
  8. Home
  9. The dance of eternity (instrumental)
  10. One last time
  11. The spirit carries on
  12. Finally free
Yang unik dari album ini adalah lagu-lagu yang termuat jika dimainkan dari lagu pertama sampai lagu terakhir secara berurutan akan menjadi sebuah alur cerita yang menarik untuk diikuti. Cerita itu menceritakan tentang seseorang bernama Nicholas yang pada tahun 2000 melakukan perjalanan waktu ke tahun 1928 dengan menggunakan Hypnotherapy.
Saya di sini hanya mengkopi dari sebuah blog yang mengulas lengkap tentang kisah ini. Berikut penggalan blog tersebut:

Kisah Tragis Asmara Victoria
Saya kurang tahu, apakah ada musisi atau grup band yang pernah menjadikan album mereka seperti yang dilakukan Dream Theater di sini. Dari lagu pertama hingga terakhir, ada benang merah berupa jalinan kisah cinta yang berakhir sangat pedih. Victoria, salah satu tokoh dalam album ini, mati karena cinta segitiga. (Steve Vai, lewat album Real Illusions: Reflections pernah melakukan hal yang mirip dengan menghadirkan tokoh utama bernama Captain Drake Mason. Ia membangun narasi bagi tiap lagu [yang mayoritas instrumental] yang diciptakannya. Namun, kesinambungan kisah antar lagu tak seperti yang dilakukan Dream Theater, kurang runut. Lagipula, ada beberapa lagu Vai yang direkam secara live di album ini, sementara Dream Theater merekam semua lagunya di studio.)
Victoria Page (fiktif) yang meninggal di tahun 1928 adalah seorang gadis yang memiliki mata yang indah. Penggambaran ini ada di dalam lagu Through Her Eyes: Inloving memory of our child, so innocent, eyes open wide.” Victoria menjalin kisah cinta segitiga dengan Julian Baynes (The Sleeper) dan saudaranya, Senator Edward Baynes (The Miracle).
Di waktu yang lain, di tahun 1999, hiduplah seorang pemuda bernama Nicholas. Ia mengalami gangguan kejiwaan, merasa pikirannya dibayang-bayangi oleh Victoria. Ia pergi ke seorang hipnoterapis untuk menghalau kegalauan batinnya. Di sana ia menjalani sebuah proses regression therapy untuk “bertemu” dengan Victoria. Lagu pertama pun dinyanyikan, berjudul Regression. Nicholas masuk ke masa lalu: “My subconscious mind, starts spinning through time, to rejoin the past once again… Hello Victoria so glad to see you my friend.”
Dalam lagu-lagu berikutnya dikisahkan kalau Nicholas mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Victoria. Lewat imajinasi yang muncul dari alam bawah sadarnya, cerita seorang pria tua yang tidak dikenal, dan berita di koran tahun 1928, ia mendapati Victoria telah dibunuh secara misterius. Ia bangun dari tidurnya selama beberapa kali.
Bolak-baliknya Nicholas dari masa lalu (1928) ke masa kini (1999) membuat ia merenungkan nasib malang yang menimpa gadis itu sampai ia menyempatkan diri mengunjungi makam Victoria. Through Her Eyes adalah lagu dengan latar makam Victoria. Di sana Nicholas merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Victoria dan merasakan kepedihan hatinya. Simaklah penggalan lirik yang mengagumkan ini:
I’m learning all about my life
By looking through her eyes

And as her image
Wandered through my head
I wept just like a baby
As I lay awake in bed
1310660159749614470Lewat lirik-lirik yang terurai berikutnya, dikisahkan bahwa Julian, kekasih pertama Victoria, telah mengalami kecanduan alkohol. Indikasi ini ditemukan dalam lirik lagu Home: “Shine… lake of fire, lines take me higher, my mind drips desire, confined and overtired.” Kecanduan ini membuat Victoria meninggalkannya. Kemudian, perselingkuhan pun terjadi. Victoria jatuh dalam pelukan Senator Edward.
Nicholas masih belum dapat menguak misteri kematian Victoria yang rumit. Namun, dari “pengembaraannya” menyusuri kehidupan Victoria, ia mulai menyadari bahwa Victoria hidup dalam dirinya. Kata-kata hipnoterapis pada lagu Fatal Tragedy menjadi jelas maknanya: “Remember that death is not the end but only a transition.”
Lalu, terdengarlah lagu fenomenal dalam album ini, The Spirit Carries On, yang menjadi klimaks ekspresi John Petrucci dan Dream Theater menggambarkan pencerahan batin Nicholas. Di lagu ini dengan gamblang dinyatakan bahwa kehidupan manusia tak hanya berakhir saat kematian. Simaklah kata-kata Nicholas berikut ini:
I used to be frightened of dying
I used to think death was the end
But that was before
I’m not scared anymore
I know that my soul will transcend
Dan, suara Victoria yang telah mati membuat ia selalu hadir dalam benak Nicholas. Inilah kata-kata Victoria itu:
Move on, be brave
Don’t weep at my grave
Because I am no longer here
But please never let
Your memory of me disappear
Ya, selamanya Victoria akan membayangi pikiran Nicholas. Pada akhirnya, di lagu terakhir, Finally Free, Nicholas mulai menguak tabir kematian Victoria: Senator Edward yang terbakar cemburu membunuh Julian dengan pistol. Saat itu Victoria memekik, dan Senator Edward berkata, “Open your eyes, Victoria!” lalu turut membunuh Victoria.
Di bagian akhir, kita mendengar hipnoterapis menyalakan mesin mobil, berjalan mengenakan sepatu, mendekati Nicholas. Ia mengucapkan kata-kata yang sama, “Open your eyes, Nicholas!”
Dan Nicholas pun menjerit, “Aaah!!!”
Nicholas: Reinkarnasi atau Terapi?
Begitulah, sosok Nicholas di masa kini (1999) yang “menyatu” lewat regression therapy dengan Victoria Page yang tewas di tahun 1928, digambarkan dalam lagu demi lagu dengan lirik yang apik. Di sinilah Dream Theater menunjukkan kepiawaian mereka menyuguhkan kisah yang surealis nan rumit dalam lirik-lirik lagu di album ini.
Para pendengar bebas menyusun anggapan dan kesimpulan sendiri: benarkah memang ada orang yang pernah dihantui dengan orang yang sudah meninggal di masa lalu? Apakah Nicholas memang merupakan reinkarnasi dari Victoria; dan hipnoterapis adalah reinkarnasi dari Edward Baynes (mengingat ia mengucapkan kata-kata yang sama dengan Edward Baynes saat membunuh Victoria)? Kita bebas menyusun anggapan itu. Saya juga bertanya-tanya, apakah regression therapy yang dijalani oleh Nicholas memang ada di dalam dunia psikologi?
Jadi, pertama, bagi yang mempercayai reinkarnasi, kisah Nicholas ini lebih tepat dipahami sebagai percakapan dua orang di alam bawah sadar tentang kehidupan dan kematian. Dan kedua, bagi yang tidak mempercayai adanya reinkarnasi, lagu ini hanyalah pengembaraan pikiran Nicholas yang di alam bawah sadarnya lewat sebuah proses terapi, menemui sosok ciptaannya sendiri bernama Victoria yang tewas mengenaskan, dan Victoria memampukannya untuk menghadapi ajal yang bakal menjemputnya. Dan saya lebih cenderung untuk “mempercayai” yang kedua.
Satu hal yang saya sayangkan adalah anggapan beberapa orang yang tampaknya “merohanikan” lagu The Spirit Carries On. Saya pernah melihat ada sebuah gambar teman yang sedang berdoa, lalu di bawah gambar itu ia tulisi bait ini:
If I die tomorrow
I’d be all right
Because I believe
That after we’re gone
The spirit carries on
Ya, walaupun dalam beberapa konsernya lagu ini dinyanyikan dengan choir yang berseragam mirip choir gerejawi, lagu ini tetap tak bisa dikategorikan lagu rohani. Memang ada bagian yang motivatif yang juga memuat nilai-nilai motivatif dan religius secara universal seperti bait berikut:
I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try
Album ini, yang dirilis di tahun 1999, bertitik tolak dari sebuah lagu di dalam album Images and Words yang rilis tahun 1992. Lagu itu berjudul Metropolis Pt. 1: The Miracle and the Sleeper. Saya menemukan kesamaan intro lagu The Miracle and the Sleeper dan Overture 1928 dan Strange Déjà Vu: intro yang mantap dan menghentak.
Hal yang unik dari lagu-lagu Dream Theater di album ini — seperti di album-album lainnya juga — adalah bagaimana mereka konsisten untuk menyuguhkan musik yang “akademis”. Semua personil Dream Theater (bahkan Mike Mangini yang baru saja menggantikan Mike Portnoy) memiliki catatan akademis musikal yang berbobot. Oleh karena itulah, lagu-lagu mereka jarang ada yang terkategori easy listening.
Dream Theater selalu tampil idealis — dan bahkan bisa dibilang keras kepala — menyuguhkan musik-musik yang “memaksa” pendengarnya untuk mendengarkan mereka dengan konsentrasi penuh. Selain itu, beberapa lagu mereka juga sering berdurasi panjang. Lagu Beyond This Life, Home, dan Finally Free di album ini semuanya berdurasi di atas 10 menit. Syairnya tak terlalu banyak, namun perubahan-perubahan irama dari lambat menuju cepat — atau sebaliknya — mereka lakukan dengan begitu tertata dan mulus.
Sejauh ini, idealisme dan konsistensi para personil Dream Theater telah terbayar dengan popularitas mereka. Popularitas itu pun selalu terjaga dengan kualitas lirik dan lagu yang mereka hasilkan. Album ini disebut-sebut sebagai album yang membuat nama mereka berkibar kembali setelah mereka sebelumnya dikenal luas dengan lagu Pull Me Under dan Another Day yang dimuat dalam album Images and Words tahun 1992. (*)
SUMBER: http://hiburan.kompasiana.com/musik/2011/07/14/review-album-metropolis-pt-2-scenes-from-a-memory/

No comments:

Post a Comment